Kejar Backlog, Urusan Perumahan Rakyat Harus Ditangani Lebih Fokus
- 2019-08-30
JAKARTA-Penyediaan rumah masih menjadi kebutuhan primer meski Indonesia sudah merdeka 74 tahun. Backlog perumahan yang masih mencapai angka 8 juta masih menjadi PR hingga kini. Maka dari itu pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus menggalakan Program Sejuta Rumah (PSR).
Menurut Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Khalawi Abdul Hamid, pada tahun 2015-2018, Program Sejuta Rumah telah berhasil membangun 3,54 juta unit sedangkan pada tahun 2019, pemerintah menargetkan 1,25 juta unit dengan capaian realisasi sampai Agustus 2019 sebanyak 847.611 unit.
"Untuk mencapai itu, berbagai inovasi pun dilakukan oleh pemerintah mulai dari penyesuaian harga rumah subsidi, standarisasi bangunan, penyediaan perumahan terjangkau hingga pembangunan rumah susun bagi ASN, TNI, Polri dan milenial," ucap Khalawi pada sebuah talkshow yang mengambil tema " Mengokohkan Urusan dan Kelembagaan Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pengembangan Kawasan Perkotaan, Kamis (29/8)
Menanggapi hal itu, pengamat perumahan dan permukiman Jehansyah Siregar menilai ada satu yang tak kalah penting untuk mengejar backlog perumahan. Urusan perumahan rakyat harus ditangani sebuah kementerian sendiri secara fokus.
“Karakter urusan perumahan rakyat memang berbeda dengan pekerjaan umum sehingga sebaiknya tidak disatukan. Ini bukan persoalan efisiensi, tapi memang kedua urusan ini berbeda. Jika digabung dengan Kemen-PU seperti bangun jalan, waduk, jembatan, pengolahan limbah, dsb, maka urusan perumahan rakyat akan jadi aneh sendiri. Ini karena pekerjaan- pekerjaan PU bersifat proyek-proyek enjinering, sangat jelas paket proyeknya, kandungan teknisnya tinggi, manajemen proyeknya rumit dan nilai anggarannya besar,” jelas Jehansyah.
Sedangkan perumahan rakyat, lanjut Jehansyah, llebih banyak urusan dimensi sosial-ekonominya dan komunikasi dengan para-pihak dan melibatkan multi-pihak pemangku kepentingan. “Dimensi-dimensi vital perumahan rakyat ini akan terancam terabaikan dalam iklim pekerjaan teknis ke-PU-an. Perbedaan mendasar ini membutuhkan penanganan yang berbeda, mulai dari paket proyek yang berbeda hingga pola komunikasi yang berbeda pula,” paparnya.
Jehansyah juga beranggapan bahwa perumahan rakyat itu bersifat multi-dimensi menyangkut urusan tanah, prasarana dasar, pembiayaan, perijinan di daerah, teknologi bangunan, pemberdayaan masyarakat, pengenalan arsitektur lokal, dan sebagainya.
“Sejak dahulu Menpera selalu berkoordinasi dengan Mendagri, Menteri-PU, BPN dan Menkeu untuk suksesnya pencapaian target-target program. Kini di era pembagian kewenangan dan desentralisasi, Menpera juga perlu berkoordinasi dengan BI dan Pemerintah Daerah di berbagai tingkatan. Semua urusan Koordinasi Kebijakan di bidang perumahan rakyat ini sangat tidak efektif untuk bisa dijalankan oleh Menteri PU yang sudah disibukkan dengan target proyek-proyek besar ke PU-an. Apalagi jika dijalankan oleh seorang pejabat setingkat Dirjen yang ingin mengkoordinasi Menteri-menteri lainnya. Sangat tidak efektif,” pungkasnya.
Comment