Senjakala Ritel Indonesia, Bagaimana Menyikapinya?

    2019-02-20

Beberapa sektor retail khususnya departement store kembali gulung tikar belum lama ini. Apakah ini akhir dari hegemoni dunia retail tanah air? Bagaimana pengembang industri ritel bertahan di era digital yang semakin kompetitif?

Kabar mengejutkan datang dari Centro Departement Store Plaza Semanggi di awal tahun ini. PT Tozy Sentosa selaku pengelola departement store tersebut menyatakan telah menutup gerainya yang sudah beroperasi 15 tahun itu sejak 31 Desember 2018.

Tak lama berselang, giliran PT Hero Supermarket Tbk (HERO) yang harus berhemat dengan cara menutup 26 gerai perusahaannya. Kebijakan ini pun berdampak pada 532 karyawannya yang harus mengakhiri hubungan kerja.

Tumbangnya satu per satu ritel di Indonesia bukan di tahun ini saja. Matahari Departement Store pada akhir September 2017 menutup gerainya di Blok M dan Pasaraya. Kemudian disusul Lotus dan Debenhams pada Oktober 2017.

Pada 2018, PT Central Retail Indonesia juga memilih menutup gerai NeoSoho pada 18 Februari 2018. Diskon besar-besaran pun dilakukan, bahkan hingga 70%. Tutup warung berjamaah pun dilakukan oleh Dorothy Perkins, New Look, GAP, Clarka dan Banana Republic di tahun yang sama.

Terkait dengan lengsernya beberapa ritel tanah air yang dikaitkan dengan belanja online, Muschin Alatas, Direktur Pemasaran PT Menara Depok Asri selaku pengembang Mal Pesona Square mengaku kurang setuju akan anggapan itu.

Menurutnya, pasar online itu hanya dijadikan kambing hitam. “Ada sesuatu yang bisa dibeli dengan online tetapi tidak bisa dinikmati secara offline. Orang akan tetap ke mal karena ada beberapa barang yang impact-nya langsung seperti baju dan sepatu. Mungkin beda dengan barang elektronik yang bisa dibeli dengan online,” papar Muschin kepada HarianProperty.com.

Hal senada juga disampaikan oleh Anton Sitorus, Head of Research Savills Indonesia. Menurutnya, tren bergugurannya ritel ini bukan semata-mata tergerus online melainkan memang fenomena yang terjadi di seluruh dunia.

“Di Indonesia itu agak belakangan tutupnya. Di tahun sebelumnya di negara-negara maju pun sudah terjadi penutupan. Preferensi pasar kini juga sudah mulai bergeser ke arah yang lebih mengutamakan pelayanan ke konsumen. Jadi. Kostumisasi,” jelasnya.

Anton menambahkan, saat ini spending ke pusat perbelanjaan juga semakin berkurang. “Kita lihat pengeluaran orang saat ini semakin terbagi-bagi. Dulu liburan bukanlah sesuatu wajib, tapi sekarang sudah menjadi rutinitas. Pengeluaran pun masuk ke pos ini,” tutur Anton.

Ditambah lagi, lanjut Anton, kondisi ekonomi juga membuat orang semakin selektif untuk berbelanja. “Kalau enggak diskon entar dulu. Akhirnya berpengaruh kepada permintaan ruang ritel,” tandasnya.

Pemikiran Anton ini pun didukung oleh survei yang dilakukan Neurosensum mengenai pengeluaran dompet orang Indonesia.

Menurut laporan tersebut, ada sekitar 34% kaum milenial di Indonesia. Dengan gemuknya demografi kaum berumur sekitar 24-35 tahun ini, maka hal ini pun memengaruhi beberapa pengeluaran di pos-pos tertentu.

Pengeluaran di sektor perjalanan meningkat 36% dari 2016 ke 2018. Pengeluaran di sektor film dan konser meningkat 46% dan untuk pengeluaran gadget melompat ke angka 47%.

Mengubah Konsep

Mal Pesona Square, sebagai mal pendatang baru pun mengerti akan pergantian pasar akibat arus digital. Maka dari itu, mal yang baru beroperasi di akhir September 2018 ini pun menerapkan beberapa strategi.

“Kita paham akan kondisi tersebut makanya kita lebih ke arah entertainment daripada fashion. Kebanyakan makan dan lifestyle. Di tempat kita FnB bisa mencapai 60%,” ungkap Muschin.

Menurut Muschin, dirinya banyak belajar dari mal-mal yang kini sukses di Jakarta. Selain dengan konsep entertainment dan lifestyle, pengelola mal juga mengadakan event-event secara berkelanjutan.

“Kita belajar dari mal-mal baru yang dulu langsung mencuri perhatian. Gandaria City misalnya. Di sana mereka membuka FnB hingga 50%. Di Citos bahkan hingga 80%,” ujarnya.

Dari Mal Kota Kasablanca, lanjut Muschin, mereka pun belajar bahwa  event-event yang terselenggara pun menjadi salah satu kunci hidup dan matinya mal. “Di Mal Kota Kasablanca event jalan terus, makanya tak salah kalau mal ini menjadi salah satu mal teramai di Jakarta,” tuturnya.

Dengan konsep yang dijalankan kini, meski baru beberapa bulan beroperasi, Muschin mengklaim okupansi pengunjung di Mal Pesona Square cukup bagus. “Hari biasa di sini bisa 8.000 sampai 10.000 pengunjung. Kalau weekend bisa sampai 20.000 orang.”

Strategi Mal Pesona Square ini pun diperkuat Vivin Harsanto, Head of Advisory JLL Indonesia. Menurut Vivin, agar tetap bertahan, mal-mal ini harus mengubah konsep dengan hal-hal yang tidak bisa digantikan dengan online. “Sekarang lebih ke makanan dan minuman serta tempat-tempat yang instagramable. Agar mal bertahan paling tidak 40% haruslah FnB dan entertainment,” ujarnya.

Pasar Ritel Tetap Baik

Menurut data JLL pada laporan Q4 2018, Pasar ritel pada triwulan keempat tahun 2018 masih menunjukan permintaan yang masih aktif di sektor fashion dan FnB dengan tingkat hunian yang stabil di 88%. Tingkat serapan retail pun menyentuh angka 3,400 m2 dengan total pasokan mal baru hingga 2021 sebesar 223,000m2.

Ya memang benar beberapa ritel memang harus angkat kaki seperti Centro Departemen Store di Plaza Semanggi namun ini hanyalah sebagian dari langkah bisnis mereka.

Buktinya di Mal Pesona Squre Depok, Centro Departemen Store menyewa hingga 3 lantai dengan luas kurang lebih 4.000m2.

Menurut Pak Pandawan (pihak dari Centro Departemen Store) seperti yang diceritakan Muschin, pihaknya terus mengekspansi bisnis mereka meski harus down size dan harus menutup beberapa gerai mereka. “Saat masih jadi tanah, mereka [Centro Departemen Store] sudah menjadi tenant kami,” pungkas Muschin.

Anton Sitorus pun beranggapan bahwa sektor ritel ini masih oke-oke saja. Ia berpendapat bahwa memang tren departmen store saat ini adalah beralih dari format yang lebih besar ke format yang lebih kecil.

“Kurangnya inovasi dan harga yang lebih mahal dari toko aslinya juga membuat retail-retail ini sepi pengunjung sehingga mereka harus menurunkan size.”

Meski secara umum pasar ritel cukup baik, Anton mengatakan dari segi pertumbuhan, pasokan mal tidak akan terlalu besar di Jakarta karena perizinannya yang cukup ketat. “Apalagi saat ini bisnis retail di luar mal semakin menggeliat,” pungkasnya.

Penulis  : Richardus Setia Gunawan

Comment

Comodo SSL